Monday 14 May 2018

Nasehat Wasiat Bapak

|0 comments



Sekitar 7 tahun yang lalu sebelum saya berangkat merantau ke Malang untuk melanjutkan pendidikan disana, pada sebuah sore tiba tiba bapak memanggil saya. Sebagai seorang anak yang selalu berusaha patuh kepada orang tua (apalagi kalau ada maunya)saya bergegas untuk menghadap ke beliau. Dalam benak saya terlintas pikiran dalam rangka apa coba bapak manggil saya, namun rasa penasaran saya akhirnya terjawab ketika bapak mengutarakan untuk memberi saya nasehat sebagai pegangan hidup ketika di perantauan.

Pada kesempatan sore itu bapak memberikan nasehat jika selama di perantauan harus memegang teguh pelajaran agama yang sudah didapat di rumah maupun madrasah. Sebab di perantauan akan ada banyak golongan dari berbagai kalangan dan otomatis akan ada banyak perbedaan. Bapak juga mewanti wanti agar saya tidak ikut ikutan golongan yang menjanjikan surga secara instan, sebab belum tentu orang yang banyak melakukan kebaikan bisa otomatis masuk surga, serta yang pernah melakukan keburukan tidak serta merta masuk neraka , loh kok bisa? Kemudian bapak memberi saya sebuah cerita nyata mengenai arti kehidupan kepada saya.

Dimulai pada tahun 70an akhir bapak saya bekerja di proyek pengerukan kali brantas wilayah tengah, kebetulan proyek tersebut akan menggeser sebuah komplek makam di daerah Nganjuk, sebagai salah satu penanggung jawab proyek lapangan bapak melakukan koordinasi untuk melakukan pemindahan makam dengan warga sekitar. Singkat cerita negosiasi berhasil dilakukan dan sekitar 15 makam berhasil dipindahkan. Uniknya 15 mayat yang dipindahkan ada yang masih dalam kondisi utuh dan ada yang dalam kondisi “mengenaskan”. Dan bapak berhasil mendapatkan riwayat hidup beberapa diantaranya.

Saat itu bapak bertanya pada saya ;
Bapak    : “Nip, coba kamu renungkan ada seorang sopir yang semasa hidupnya jarang beribadah, kerap mampir dan “minum” dengan seorang tokoh agama yang taat beribadah, kalau mereka meninggal 10 tahun kemudian siapa jenazahnya yang masih utuh?”
Saya       : “Ya jelas  tokoh agama itu lah pak, kan rajin beribadah”
Bapak    :”tapi kenyataannya tidak, justru malah sang sopir yang kondisi mayitnya utuh setelah 10 tahun”
Saya       : “ Loh kok bisa pak, kan rajin beribadah satunya jarang?”
Bapak    :”Bapak belum selesai cerita nif, ternyata setelah bapak telusuri riwayatnya begini:”

Jika kita melihat secara luarnya saja tentu dengan mudah kita akan memvonis jika sang sopir yang kesehariannya jarang beribadah dengan sering “mampir” tentu akan mendapat siksa kubur dan kondisi mayitnya tidak utuh dan kebalikannya dengan sang tokoh agama yang rajin beribadah harusnya mendapat ganjaran yang sepadan dengan kondisi jenazah yang utuh karena tidak disiksa.

Akan tetapi kenyataannya berbeda,justru sang tokoh agama tidak utuh kondisi jenazahnya dan si sopir malah kondisi utuh dan bagus jenazahnya. Usut punya usut semasa hidupnya akhirnya si Sopir memiliki keinginan untuk bertaubat dan menyerahkan tabungan hasil kerjanya secara halal ke panti asuhan, dan sebagiannya juga diserahkan ke tokoh agama agar bisa dimanfaatkan untuk pembangunan masjid dan musholla seraya  berpesan kepada tokoh agama untuk merahasiakan  identitas pemberinya. Sepulang dari perjalanan menyerahkan hartanya untuk sedekah secara naas si sopir mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Sopir tersebut meninggal di tempat dengan keadaan sudah bertaubat dan niat yang kuat untuk tidak kembali berbuat salah dan maksiat.

Sementara sang tokoh agama setelah diusut semasa hidupnya beliau ternyata sering tidak mau menoleh ketika dipanggil tidak dengan gelar hajinya seraya berkata “saya ini sudah haji lho, mbok ya kalau manggil yang lengkap”. Kemudian ternyata sang tokoh agama juga gemar mengungkit pemberian yang sudah diberikannya,terakhir beliau mengklaim sedekah kepada masjid padahal yang memberi sedekah adalah sang sopir yang berpesan untuk merahasikan identitasnya tadi.
Dari kisah tersebut  bapak berpesan bahwa kebaikan sekecil apapun jika sudah diniatkan sudah dicatat oleh malaikat, serta amal yang kita laksanakan alangkah seyogoyanya jika kita rahasiakan. Serta kita tidak dapat menilai seseorang dari luarnya saja karena pada hakikatnya hanya Allah lah yang berhak menentukan segalanya.