Sekitar 7 tahun yang lalu sebelum saya berangkat merantau ke
Malang untuk melanjutkan pendidikan disana, pada sebuah sore tiba tiba bapak
memanggil saya. Sebagai seorang anak yang selalu berusaha patuh kepada orang
tua (apalagi kalau ada maunya)saya bergegas untuk menghadap ke beliau. Dalam
benak saya terlintas pikiran dalam rangka apa coba bapak manggil saya, namun
rasa penasaran saya akhirnya terjawab ketika bapak mengutarakan untuk memberi
saya nasehat sebagai pegangan hidup ketika di perantauan.
Pada kesempatan sore itu bapak memberikan nasehat jika
selama di perantauan harus memegang teguh pelajaran agama yang sudah didapat di
rumah maupun madrasah. Sebab di perantauan akan ada banyak golongan dari
berbagai kalangan dan otomatis akan ada banyak perbedaan. Bapak juga mewanti
wanti agar saya tidak ikut ikutan golongan yang menjanjikan surga secara
instan, sebab belum tentu orang yang banyak melakukan kebaikan bisa otomatis
masuk surga, serta yang pernah melakukan keburukan tidak serta merta masuk
neraka , loh kok bisa? Kemudian bapak memberi saya sebuah cerita nyata mengenai
arti kehidupan kepada saya.
Dimulai pada tahun 70an akhir bapak saya bekerja di proyek
pengerukan kali brantas wilayah tengah, kebetulan proyek tersebut akan
menggeser sebuah komplek makam di daerah Nganjuk, sebagai salah satu penanggung
jawab proyek lapangan bapak melakukan koordinasi untuk melakukan pemindahan
makam dengan warga sekitar. Singkat cerita negosiasi berhasil dilakukan dan
sekitar 15 makam berhasil dipindahkan. Uniknya 15 mayat yang dipindahkan ada yang
masih dalam kondisi utuh dan ada yang dalam kondisi “mengenaskan”. Dan bapak
berhasil mendapatkan riwayat hidup beberapa diantaranya.
Saat itu bapak bertanya pada saya ;
Bapak : “Nip, coba
kamu renungkan ada seorang sopir yang semasa hidupnya jarang beribadah, kerap
mampir dan “minum” dengan seorang tokoh agama yang taat beribadah, kalau mereka
meninggal 10 tahun kemudian siapa jenazahnya yang masih utuh?”
Saya : “Ya
jelas tokoh agama itu lah pak, kan rajin
beribadah”
Bapak :”tapi
kenyataannya tidak, justru malah sang sopir yang kondisi mayitnya utuh setelah
10 tahun”
Saya : “ Loh kok
bisa pak, kan rajin beribadah satunya jarang?”
Bapak :”Bapak belum
selesai cerita nif, ternyata setelah bapak telusuri riwayatnya begini:”
Jika kita melihat secara luarnya saja tentu dengan mudah
kita akan memvonis jika sang sopir yang kesehariannya jarang beribadah dengan
sering “mampir” tentu akan mendapat siksa kubur dan kondisi mayitnya tidak utuh
dan kebalikannya dengan sang tokoh agama yang rajin beribadah harusnya mendapat
ganjaran yang sepadan dengan kondisi jenazah yang utuh karena tidak disiksa.
Akan tetapi kenyataannya berbeda,justru sang tokoh agama
tidak utuh kondisi jenazahnya dan si sopir malah kondisi utuh dan bagus
jenazahnya. Usut punya usut semasa hidupnya akhirnya si Sopir memiliki
keinginan untuk bertaubat dan menyerahkan tabungan hasil kerjanya secara halal
ke panti asuhan, dan sebagiannya juga diserahkan ke tokoh agama agar bisa
dimanfaatkan untuk pembangunan masjid dan musholla seraya berpesan kepada tokoh agama untuk
merahasiakan identitas pemberinya.
Sepulang dari perjalanan menyerahkan hartanya untuk sedekah secara naas si
sopir mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Sopir tersebut meninggal di
tempat dengan keadaan sudah bertaubat dan niat yang kuat untuk tidak kembali
berbuat salah dan maksiat.
Sementara sang tokoh agama setelah diusut semasa hidupnya
beliau ternyata sering tidak mau menoleh ketika dipanggil tidak dengan gelar
hajinya seraya berkata “saya ini sudah haji lho, mbok ya kalau manggil yang
lengkap”. Kemudian ternyata sang tokoh agama juga gemar mengungkit pemberian
yang sudah diberikannya,terakhir beliau mengklaim sedekah kepada masjid padahal
yang memberi sedekah adalah sang sopir yang berpesan untuk merahasikan
identitasnya tadi.
Dari kisah tersebut
bapak berpesan bahwa kebaikan sekecil apapun jika sudah diniatkan sudah
dicatat oleh malaikat, serta amal yang kita laksanakan alangkah seyogoyanya
jika kita rahasiakan. Serta kita tidak dapat menilai seseorang dari luarnya
saja karena pada hakikatnya hanya Allah lah yang berhak menentukan segalanya.