Saturday 4 December 2010

Yogyakarta Memang Istimewa

Polemik mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Jogjakarta terus berlanjut. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyebut jangan sampai ada monarki dalam sistem demokrasi Indonesia menuai kecaman dari masyarakat Jogjakarta.

Kali ini kritik itu datang dari peguyuban perangkat desa yang tergabung dalam Parade Nusantara DPD Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). Kepala Litbang DPD Parade Nusantara DIJ Rustam Fatoni menegaskan, pihaknya bersama warga siap mengerahkan massa untuk menuntut penetapan gubernur dan wakil gubernur DIJ.

Sebab, bagi Parade Nusantara, penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIJ yang dijabat Sri Sultan dan Paku Alam merupakan harga mati. "Jika ada pihak-pihak yang ingin menghilangkan keistimewaan DIJ, yakni menginginkan adanya pemilihan atas jabatan gubernur dan wakil gubernur DIJ, mereka semua akan kami lawan, sekalipun itu para pejabat pemerintah pusat," kata Fatoni kemarin (30/11).

Fatoni menilai, pernyataan SBY itu menunjukkan bahwa presiden tidak mengetahui posisi Keraton Ngayogyakarta dan sejarahnya saat bergabung dengan Republik Indonesia (RI). "Pernyataan itu berlebihan dan mengada-ada. Sejarah membuktikan bahwa selama gubernur dan wakil gubernur DIJ dijabat Sri Sultan HB IX hingga Sri Sultan HB X melalui mekanisme penetapan, tidak pernah terjadi gejolak ditengah masyarakat DIJ," tegas pria yang juga menjabat sebagai kepala desa Jambidan Banguntapan, Bantul, itu.

Fatoni menegaskan, seluruh anggota dan pengurus elemen masyarakat Parade Nusantara DIJ menginginkan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIJ dijabat sultan dan paku alam melalui penetapan yang sesuai dengan UUD 1945 pasal 18.

"Pasal 18 menjelaskan bahwa jabatan gubernur dan wakil gubernur DIJ adalah Sultan dan Paku Alam yang bertakhta. Sehingga, tidak perlu lagi dipertentangkan dengan istilah jangan sampai ada monarki dalam sistem demokrasi di Indonesia," terang Fatoni.

Fatoni menjelaskan, penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIJ merupakan salah satu bentuk demokrasi yang dikehendaki rakyat Jogjakarta. Karena itu, dia meminta politisi dan pejabat pemerintah pusat tidak memaksakan kehendak dengan menyuarakan gagasan pemilihan untuk jabatan gubernur DIJ. "Faktanya, masyarakat Jogjakarta menghendaki adanya penetapan, bukan pemilihan," tegas Fatoni.

Wabup Gunungkidul Badingah SSos juga merespons dingin pernyataan SBY tersebut. "Tidak ada monarki. Biarkan ini berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Badingah, Selasa (30/11).

Pantauan Radar Jogja (Grup JPNN) di sepanjang Jalan Gunungkidul bagian barat Patuk hingga ke arah Kota Wonosari, terlihat beberapa spanduk yang bertulisan Jogjakarta Siap Referendum. Spanduk itu dipasang membentang di sudut-sudut jalan, termasuk di tikungan hutan Wonogomo, Playen, dan di depan kantor pemkab, Seowokoprojo.

Salah seorang warga Patuk, Sulistyo, 34, yang melintasi spanduk itu menghentikan laju sepeda motornya dan membaca bunyi tulisan tersebut. Namun, ketika ditanya, dia malah tersenyum dan mengatakan tidak mau berkomentar banyak sembari menyalakan mesin motor. Sulistyo justru mempertanyakan legalitas pemasangan spanduk itu. "Kalau tidak berizin, semua jenis spanduk tanpa terkecuali harus dicopot," kata Sulistyo

0 comments:

Post a Comment

Leave Comment Please